masukkan script iklan disini
Hipakad 63 Sumut Soroti Kebijakan Pertanahan Pemerintah yang Dinilai Memiskinkan Rakyat dan Mengancam Nyawa
Medan —Hipakad 63 Sumatera Utara kembali menyoroti kebijakan pertanahan nasional yang dinilai semakin jauh dari rasa keadilan masyarakat. Ketua Hipakad 63 Sumut, **Edi Susanto**, menegaskan bahwa berbagai kebijakan Kementerian ATR/BPN beserta jajarannya bukan hanya memisahkan rakyat dari tanah leluhur, tetapi juga berpotensi menghilangkan mata pencaharian bahkan nyawa masyarakat.
Sorotan ini mencuat setelah berbagai peristiwa, mulai dari banjir bandang di Aceh Tamiang hingga sengketa tanah di Sei Semayang, menunjukkan adanya keterkaitan antara tata kelola pertanahan yang lemah, konflik agraria, dan memburuknya kondisi kehidupan rakyat di daerah.
-
Banjir Bandang Memperlihatkan Kerentanan Tata Ruang.
Berdasarkan data **Posko Komando Tanggap Darurat Bencana Hidrometeorologi Aceh** (2/12), tercatat **1.452.185 jiwa terdampak** bencana hidrometeorologi yang melanda **3.310 desa di 18 kabupaten/kota** di Aceh. Ribuan bangunan rusak akibat banjir bandang di Aceh Tamiang pada Kamis (4/12), memperlihatkan lemahnya pengendalian ruang dan alih fungsi lahan yang selama ini disoroti oleh berbagai lembaga masyarakat.
Hipakad 63 menilai bahwa rusaknya ekosistem, alih fungsi lahan yang tidak terkendali, serta lemahnya pengawasan negara, telah menjadikan bencana sebagai ancaman berulang bagi masyarakat kecil.
---
Rakyat Tersisih oleh Penguasaan Tanah Berbasis Kekuasaan
Dalam pernyataannya, Hipakad 63 menilai pemerintah pusat melalui Kementerian ATR/BPN justru mengedepankan kepentingan pengusaha dalam menangani konflik tanah, sementara rakyat pemilik alas hak semakin tersingkir.
“Rakyat kehilangan sawah, ladang, dan hunian. Mereka jatuh miskin karena tidak ada lagi tanah yang bisa menjadi sumber pencaharian,” ujar Edi Susanto.
Hipakad 63 menyebutkan bahwa praktik penyingkiran rakyat kerap terjadi melalui:
1. Monopoli Penguasaan Tanah
Melanggar prinsip keadilan sebagaimana diatur dalam **Pasal 7, 10, dan 17 UUPA**, di mana tanah seharusnya dikuasai untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
2. Penggeseran Klaim Tanah Rakyat
Banyak masyarakat yang telah berpuluh-puluh tahun menempati tanah dengan dasar alas hak yang sah, namun dikalahkan oleh klaim perusahaan besar melalui jalur administrasi dan persidangan.
Contoh yang paling mencolok adalah kasus **HGU 109 Kebun Sei Semayang**, di mana surat-surat cacat administrasi diduga tetap digunakan sebagai dasar penggusuran rakyat.
3. Intimidasi Administratif dan Penyempitan Akses Pendaftaran Tanah**
Upaya rakyat untuk mendaftarkan tanah kerap dipersulit dengan beragam syarat administratif. Akibatnya rakyat mengalami kriminalisasi, pengusiran, dan perampasan tanah secara terselubung.
4. Tertutupnya Kesempatan Rakyat Memperoleh Hak Atas Tanah**
Banyak masyarakat adat dan petani kecil tidak lagi diberi ruang untuk memiliki, memanfaatkan, atau mengelola tanah yang secara turun-temurun mereka huni.
Kasus Lapangan: Rakyat Mulio Rejo Terdampak Kekerasan di Areal PTPN 2/1
| Gambar 3 : Ketua Hipakad 63 Sumut Edi Susanto nomo 2 dari kiri Turun kedesa Muliorejo melihat Rakyat Korban Kerasan di lahan Persekusi PTPN 2/ 1 Desa Sei semayang,2025 |
Hipakad 63 Sumut turut meninjau langsung situasi rakyat di **Desa Mulio Rejo**, Kecamatan Sunggal, yang menjadi korban tindak kekerasan dan penggusuran diduga dilakukan pihak PTPN 2/1 dengan dukungan aparat.
Rumah-rumah warga diratakan, tanaman pangan dihancurkan, dan masyarakat semakin terdesak dari tanah yang telah puluhan tahun mereka kelola.
“Ini bukan sekadar konflik tanah. Rakyat diperlakukan seolah tidak lagi dianggap sebagai manusia Indonesia. Mereka dijadikan objek, bukan subjek dalam kebijakan negara,” tegas Edi Susanto.
---
Hipakad 63: Tidak Mundur, Akan Tempuh Jalur Hukum dan Diplomasi Rakyat
Meski menghadapi tekanan di lapangan, Hipakad 63 menyatakan akan terus mendampingi rakyat dalam reclaiming action melalui:
* Musyawarah dengan PTPN 2/1
* Koordinasi dengan Kantor Wilayah Pertanahan Provinsi
* Upaya hukum melalui Pengadilan Tata Usaha Negara
* Gugatan Perdata maupun Pidana bila diperlukan
Hipakad berharap aparat dan institusi negara masih memiliki nurani dalam melayani rakyat, bukan justru menjadi alat bagi kepentingan kelompok tertentu.
---
Seruan Moral
Hipakad 63 menegaskan bahwa kebijakan pertanahan tidak boleh mengulangi pola kolonialisme masa lalu. Negara harus hadir mengembalikan hak-hak rakyat, menjaga lahan pertanian, serta mencegah kerusakan ruang hidup yang berdampak fatal seperti bencana hidrometeorologi di Aceh.
“Rakyat bukan budak yang wajib mengikuti kemauan penguasa. Negara harus berdiri untuk keadilan,” tutup Edi Susanto.
(TIM)












Tidak ada komentar:
Posting Komentar